Bagi Hok Gie, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Ia juga mengatakan: "Hanya di puncak gunung aku merasa bersih." Tapi lebih dari itu, kecintaannya pada alam adalah bagian penting dari kejiwaan cinta-Tanah Airnya.
Patriotisme, katanya, tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. "Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat".
Hok Gie memang seorang penjelajah alam dan pendaki gunung yang entusias. Ia punya kekaguman tersendiri pada temannya, Herman Lantang, yang jago naik gunung dan sedang menjelajahi hutan Irian Jaya. Hok Gie sendiri bercita-cita suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yakni Semeru.
Pada 15 Desember 1969, Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
Cita-cita Soe Hok Gie untuk mati di tengah alam betul-betul kesampaian. Dan tampaknya juga cocok dengan ungkapan dari puisi Yunani yang suka dikutipnya: "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda."
Lokasi musibah itu terpencil dan nyaris tidak bisa diakses. Helikopter dari pangkalan TNI-AL Surabaya gagal mencapai lokasi karena cuaca buruk dan areal yang terjal.
Melalui upaya dari darat, jenazah Hok Gie dan Idhan akhirnya bisa dibawa ke Malang, 23 Desember 1969. Menjelang malam Natal 1969, pesawat Hercules TNI-AU yang mengangkut Hok Gie dan Idhan mendarat di lapangan terbang Kemayoran Jakarta. Di antara ratusan penyambut yang telah menanti berjam-jam terdapat Prof Soemitro Djojohadikusumo, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
Soe Hok Gie dimakamkan di Menteng Pulo dan kemudian dipindahkan ke kuburan zaman Belanda di Tanah Abang. Di nisan marmernya dituliskan kata-kata dari lagu kesayangannya: "Nobody knows the troubles I see. Nobody knows my sorrow." Tahun 1975, sisa jasad Hok Gie digali kembali untuk dikremasikan. Abunya kemudian ditaburkan oleh sahabat-sahabatnya di lembah Mandala-wangi, dekat Puncak Pangrango, tempat yang acapkali dikunjungi Hok Gie manakala ia butuh kedamaian dan kesendirian.
Patriotisme, katanya, tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. "Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat".
Hok Gie memang seorang penjelajah alam dan pendaki gunung yang entusias. Ia punya kekaguman tersendiri pada temannya, Herman Lantang, yang jago naik gunung dan sedang menjelajahi hutan Irian Jaya. Hok Gie sendiri bercita-cita suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yakni Semeru.
Pada 15 Desember 1969, Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
Cita-cita Soe Hok Gie untuk mati di tengah alam betul-betul kesampaian. Dan tampaknya juga cocok dengan ungkapan dari puisi Yunani yang suka dikutipnya: "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda."
Lokasi musibah itu terpencil dan nyaris tidak bisa diakses. Helikopter dari pangkalan TNI-AL Surabaya gagal mencapai lokasi karena cuaca buruk dan areal yang terjal.
Melalui upaya dari darat, jenazah Hok Gie dan Idhan akhirnya bisa dibawa ke Malang, 23 Desember 1969. Menjelang malam Natal 1969, pesawat Hercules TNI-AU yang mengangkut Hok Gie dan Idhan mendarat di lapangan terbang Kemayoran Jakarta. Di antara ratusan penyambut yang telah menanti berjam-jam terdapat Prof Soemitro Djojohadikusumo, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
Soe Hok Gie dimakamkan di Menteng Pulo dan kemudian dipindahkan ke kuburan zaman Belanda di Tanah Abang. Di nisan marmernya dituliskan kata-kata dari lagu kesayangannya: "Nobody knows the troubles I see. Nobody knows my sorrow." Tahun 1975, sisa jasad Hok Gie digali kembali untuk dikremasikan. Abunya kemudian ditaburkan oleh sahabat-sahabatnya di lembah Mandala-wangi, dekat Puncak Pangrango, tempat yang acapkali dikunjungi Hok Gie manakala ia butuh kedamaian dan kesendirian.
from.. wikipedia..